Pembodohan Massal

Kemarin aku membuat twit di Twitter berupa luapan dari apa yang ada dalam pikiranku. Kurang lebih seperti ini isinya:

Boleh aku bertanya?
Memangnya tahu darimana kalau perempuan harus memakai kerudung? Tahu darimana kalau kita harus melaksanakan salat? Tau darimana kalau ada surga dan neraka? Jangan-jangan semua itu hanya teori konspirasi sejak lahir. Doktrin agama dari lingkungan yang membuat kalian seperti memburu sesuatu yang kelabu.
Kalian bilang tahu dari Qur’an? Memangnya pernah dibaca benar kitabnya? Atau hanya melihat potongan-potongan ayat yang berseliwer di sosial media atau di baliho pinggir jalan? Memangnya yakin potongan ayat tersebut dari Qur’an? Pernah coba mengecek? Kalimat sebelum dan sesudahnya juga mendukung atau tidak?
Kalau belum pernah baca Qur’an dan belum juga paham isinya, berarti selama ini siapa yang membodohi siapa? Selama ini hidup dalam konformitas massal berkedok gerakan spiritual dong?
Jika seorang atheis dihujat di Indonesia, apakah artinya seorang theis dianggap lebih unggul? Bagaimana dengan theis agnostik? Apakah juga dianggap unggul? Bukankah mereka malah bagian dari pembodohan massal itu? Lalu apakah itu bukan disebut sebagai orang yang tidak punya pendirian?
Sekali lagi, siapa yang membodohi siapa?

Orang sumbu pendek pasti akan meledak-ledak dengan beberapa celotehanku di atas. Mungkin aku sudah dipersekusi dan dikafir-kafirkan oleh mereka. Hmmm. Kafir itu indikatornya apa sih?

Tulisanku itu sebenarnya bukti keresahanku akan sekeliling. Di mana sekarang tiap-tiap orang seperti merasa menjadi wakil Tuhan dan memvonis orang kafir sana-sini. Ditambah orang-orang sudah merasa paling benar ilmu agamanya, kemudian seenak hati mengomentari teman-temannya yang lain, yang menurut dia ‘kurang saleh’.

Aku jadi ingat, pernah suatu saat ada kegiatan ke Thailand, aku bertemu dengan banyak orang baru. Salah satunya teman sebarenganku dari Jogja. Sebut saja namanya Dewi. Dewi merupakan mahasiswi yang setahun lebih tua dari aku, dari kampus negeri di Jogja, mengenakan jilbab. Aku merupakan mahasiswi dari kampus dengan label Islam, dan aku tidak mengenakan jilbab. Kami sempat duduk sebangku di bis.

Aku ingat sekali dia mengomentari segerombolan peserta yang juga dari kampus Islam (tapi bukan sekampus denganku) yang sedang berfoto-foto. Segerombolan itu memiliki style pakaian yang kurang lebih sama. Mungkin karena terbawa vibe Thailand juga, pakaian mereka seperti rok selutut, off shouldersleeveless, dan baju-baju dengan vibe vacation. Menurutku masih sopan, bukan jenis pakaian tank top atau hot pants. Dewi memandang ke arah mereka dan berkata “Ih, kok baju mereka kayak gitu sih. Mereka kan dari kampus Islam. Masa kampus Islam nggak pake jilbab.”

Mendengar itu aku tersenyum salah tingkah. Aku saat itu mengenakan atasan batik lengan 3/4 dan rok selutut, tidak tahu harus berkata apa. Dia menengok ke arahku kemudian berkata “Kamu juga dari kampus Islam kok nggak pake jilbab, xxx”. Aku lupa tepatnya dia ngomong apa, tapi aku ingat kalau aku sakit hati dengan perkataannya. Mengomentari cara orang berpakaian dengan melihat latar belakang kampusnya, padahal proyek ini pun tidak membawa nama kampus! Toh Dewi juga bukan tipikal hijaber syar’i seperti teman-teman di kampusku. Dia masih yang mengenakan pakaian ketat, jeans ketat, dan jilbab yang diikat di belakang leher. Jadi apa bedanya pakaianmu dan pakaianku?

Yah. Intinya orang-orang seperti itulah yang kadang bikin sakit hati. Nyerocos, mengomentari, seakan paham agama dan paling tahu segalanya. Untuk itu, aku mengungkapkan dengan pertanyaan-pertanyaan di Twitter.

Sebenarnya, maksud dari twit itu yaitu mencoba bertanya pada orang-orang seperti Dewi. Memangnya kamu tahu kalau disuruh pakai jilbab itu dari siapa? Kamu percaya bahwa Islam mewajibkan perempuan memakai jilbab, memangnya iya? Sudah kamu baca Qur’annya?

Aku rasa banyak orang mengaku Muslim tapi belum pernah sekalipun membaca Al-Qur’an sampai habis, terjemahannya terutama. Termasuk aku. Tapi untungnya aku masih diberi kemampuan ‘tahu diri’ sehingga tidak berani macam-macam dalam menilai seseorang menggunakan dalil. Tapi, itu pun juga bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Aku dan muslim lainnya harus belajar untuk membaca Al-Qur’an, dan menemukan sendiri kalimat-kalimat larangan dan perintah yang memang tertera jelas di situ. Sehingga kita memang berjilbab, sholat, dan beretika karena murni pengetahuan akan kewajiban yang Allah perintahkan. Bukan semata-mata potongan ayat. Ataupun suruhan dari lingkungan.

Jangan mau dibodohi orang lain. Katanya ini. Katanya itu. Buktikan sendiri, baca Al-Qur’an sendiri. Temukan kalimat yang menyatakan perintah dan larangan. Temukan kalimat di mana Allah menceritakan tentang alam semesta. Jangan langsung menilai kalau baca Al-Qur’an saja belum dimulai.

Potongan ayat dalam Al-Qur’an tidak bisa dipercaya sepenuhnya. Ingat, di Al-Qur’an pun mengatakan bahwa orang-orang yang melaksanakan salat akan celaka, lho. Kita harus mencoba membaca kalimat sebelum dan sesudahnya, agar paham apa yang sebenarnya sedang diperbincangkan. Untuk itu, Muslim wajib untuk membaca dan memahami Al-Qur’an agar terhindar dari sok tahu dan nyinyirisme.

Kesel juga sama orang-orang yang memarjinalkan atheis. Aku paham jika Indonesia merupakan negara yang memaksa bangsanya untuk beragama. Tapi bukan berarti manusia yang memiliki agama jauh lebih baik daripada orang yang tidak beragama. Karena pada dasarnya, atheis jika dia gnostik artinya dia mencari. Lain halnya dengan theis agnostik, yang punya agama tapi masih tidak yakin 100% bahwa Tuhan itu ada. Menyedihkan.

Aku rasa, iman akan Tuhan itu penting. Siapapun Dzat-nya, aku percaya bahwa sebenarnya sosok-Nya sama. Hanya saja interpretasi dari masing-masing agamalah yang kemudian membedakan satu dengan yang lain. Akhirnya melahirnya ritual keagamaan yang berbeda juga. Untuk itu, diperlukan agama sebagai pembimbing kita karena manusia memang cenderung suka mengkategorisasi, termasuk status religiusitasnya.

Yah, intinya agama itu hanya membantu, bukan yang utama. Utamanya tentu saja kita percaya akan Dzat yang Maha Agung yang disebut Tuhan, aku dan teman-teman Muslim menyebut Allah.

Jadi tidaklah perlu menghujat agama lain, atau pemeluk agama lain. Tidak usahlah menjatuhkan kepercayaan orang lain, berikut segala ritual agama mereka. Lebih baik urus hubungan dengan Allah. Kuatkan iman sama Allah. Yakin nggak Allah itu Tuhan-mu? Kalau yakin, ya ikutin dong perintah-Nya. Kalau nggak yakin, ya jangan merasa paling saleh.

Gitu aja kok repot.

 

 

Leave a comment