Menegaskan Mimpi yang Pernah Ada

Ingatkah kamu ketika usiamu penuh gelegak adrenalin, kamu pernah bermimpi sangat kuat? Mimpi yang terus membayangi di setiap aktivitas kehidupanmu, yang membuatmu menhkhayalkan banyak hal-hal indah, membuatmu tinggi gesit menari-nari di atas papan ketik tanpa mengenal rasa takut?

Itu menyenangkan. Rasa berani itu menyenangkan. Aku senang pernah merasakan keberanian sebesar itu. Keberanian yang terkubur cukup lama, mengendap, namun tidak pernah hilang. Ia tetap di sana. Di dasar. Memupuk diri untuk kemudian menjulang kapanpun mendapatkan kesempatan.

Tidak perlu meledak untuk mendapatkan perhatian, karena dengan cubitan tipis ternyata sudah cukup menggetarkan. Tidak hanya ingatan mengenai mimpi, tapi juga dibersamai oleh strategi. Tidak hanya berwujud mimpi, tapi juga langkah realisasi. Jajakannya nyata, kokoh, dan sangat masuk akal. Aku hanya tinggal melangkah perlahan, satu persatu, tanpa memaksakan diri berlari.

Ayo, menulis, Firda.

Ayo, kembali menulis.

Pikiranmu sudah penuh dengan segala ide. Manfaatkan pertikaian dalam pikiranmu, bentuklah bait-bait cahaya, sebelum semuanya menjadi korosif dan menjemukan. Mimpi ini hanya memerlukan kamu berjalan satu jengkal hari ini. Satu jengkal besok. Satu jengkal lagi lusa. Dan satu jengkal-satu jengkal lainnya di hari-hari depan. Apa susahnya berjalan satu jengkal? Tapi bukan berarti kamu bisa berjalan langsung dua jengkal, sadar diri itu perlu.

Look and learn. Start with the article every Thursday, then with the group discussion, and last, you got the chance to open your own personal convo!! Isn’t it beautiful?

Selalu ingat bahwa tujuanmu berada di posisi ini yaitu untuk menjembatani ilmu akademik ke ilmu masyarakat. Kita mulai dari sekarang.

aku ingin tidur (selamanya)

Memiliki pikiran yang berisik adalah kutukan bagiku. Ingin rasanya sekejap menghentikan riuhnya. Mungkin rasanya akan lebih menyenangkan. Atau mungkin malah menakutkan. Aku tidak yakin.

Keberisikan pikiran yang ditunjang dengan kemampuan analitis yang kuat akan lebih menyeramkan. Seakan menemukan banyak benang merah yang aku yakini kebenarannya. Aku terlalu tahu banyak hal. Bahkan terlalu mantap memprediksi masa depan. Seringnya benar. Tapi, terkadang ini juga berlebihan. Tergantung seberapa jauh aku melibatkan perasaan di dalam analisis tersebut.

Tidak baik menggunakan perasaan. Kemampuan analitisku akan lenyap. Sialnya, kita tidak bisa mengendalikan perasaan. Ia seperti belut yang semakin digenggam, semakin meluncur melepaskan diri. Licin. Tidak terjamah. Perasaan punya kakinya sendiri. Punya kehendaknya sendiri. Ia tidak mudah diatur dan tidak mudah berkompromi. Ia hanya akan sembuh jika ia mau sembuh.

Perasaan memang kuat. Tapi jangan sampai kamu menjadi budak atasnya. Jangan lepaskan tali logika dalam kepalamu, selemah apapun genggaman itu. Tetap genggam. Jangan tarik kuat-kuat perasaan. Kalau sudah jemawa, perasaan akan memporak-porandakan hidupmu. Sekali libas, semua tewas. Tidak tersisa. Bahkan bisa berujung menewaskan diri juga.

Kemarin, tepatnya 23 November, aku kelepasan. Tanganku terlalu rapuh hingga tanpa sadar melepaskan tali logika. Tanganku menggenggam erat perasaan dan membiarkannya mengambil alih hidupku. Aku dikendalikan sepenuhnya oleh perasaan. Aku hancur. Perasaan itu menekanku dan membuatku tidak bisa bernapas. Aku tenggelam dan tidak menemukan sesuatu untuk dijadikan pegangan. Aku tidak bisa berenang. Aku tamat.

Aku berhenti menggapai dan membiarkan air membawaku semakin dalam. Alirannya membawa benda-benda yang tidak seharusnya kusentuh di dalam air. Benda tajam. Obat-obatan. Jarum. Aku membiarkan mereka satu persatu menari di tubuhku. Memberikan sensasi yang menyakitkan namun anehnya melegakan. Mereka mengukir wujud mereka satu persatu di kulitku, di kerongkonganku, di jantungku. Dadaku berdebar keras menyambutnya.

Kupikir inilah saatnya aku menyentuh dasar laut. Aku siap. Jika memang ini waktunya, aku terima. Pikiran-pikiran yang sepenuhnya dikendalikan perasaan terasa menyakitkan. Sakit. Sakit. Sakit. Aku hanya ingin tidur. Biarkan aku lelap.

Selamat tidur?

Sebuah Skenario: Bukti Bahwa Aku Terlalu Mengenalmu

Aku membayangkan banyak hal yang mungkin bisa kita lakukan bersama.

Mungkin dengan merebahkan diri di atas rerumputan, di mana kita bisa menghitung bintang dan menatap sinar rembulan yang keterlaluan. Mungkin juga kita akan mengeratkan hoodie dan mulai membaluri perut dengan minyak telon (yang katamu tidak akan memberi dampak apapun karena kita sudah terlalu besar, tapi toh tetap kamu pakai juga).

Saat itu, mungkin suara perutku akan mengganggu suasana romantis yang terbangun. Lalu kamu akan menarik tanganku untuk bangkit. Ayo, Nek, kita harus gerak untuk menghangatkan diri, katamu. Aku (Si Nenek) akan mengikutimu sambil menggerutu. Tentu saja setelahnya aku hanya akan duduk sambil memandangi kamu beraksi dengan mie bikinanmu, karena kamu lebih merasa aman seperti itu. Kamu tidak percaya bahwa aku bisa melakukan itu semua tanpa membakar diriku sendiri di api unggun (sesuatu hal sangat mungkin akan terjadi). Aku pun tidak akan memaksakan diri, toh duduk di atas matras bukan hal yang perlu dikesalkan.

Matamu berbinar sambil menjelaskan apa yang sedang kamu lakukan ke aku. Nih, posisi seperti ini akan membuat telurnya setengah matang tapi tidak mudah pecah. Daun bawang akan menambah cita rasa kuahnya. Terutama cabe! Udah deh, percaya sama aku, cabe ini nggak pedes! Selalu banyak omong. Selalu dengan kepercayaan diri yang begitu besar. Aku akan merengut, memelototi tiap potongan cabe yang kamu tuang ke mie, memberikan pandangan yang kurang lebih seperti Awas saja kalau pedas! Kamu tentu akan tetap melanjutkan, bahkan sambil mengumbar tawa khasmu yang tengil. Sengaja menggodaku. Si Nenek penggurutu.

Setelahnya, kamu akan duduk di sebelahku, menyodorkan semangkuk mie dan mengajak untuk makan bersama. Aku akan segera melupakan gerutuanku dan kembali bersemangat. Menatap mie-ku dengan tidak sabar, yang berakhir menyikiti lidahku sendiri karena mie-nya masih terlalu panas. Kamu akan kembali tertawa, atau tepatnya menertawaiku. Kemudian kamu menggulung mie dari mangkukmu dan meniupnya, memastikan suhunya bisa kutolerir, sebelum menyuapiku dengan lembut.

Enak? tanyamu. Aku menganggukkan kepala kuat-kuat dan memberikan senyum lebar. Membuatku sedikit lengah akan tanganmu yang tiba-tiba datang membawa garpu menuju mangkukku. Sini bagi telor! Enak aja lu makan mie gue, yang tentunya membuat mukaku jadi super cemberut. Nih, nggak jadi. Jangan singut dong! Candanya dengan (lagi-lagi) tawa tengil yang menyebalkan.

Ya, menyebalkan. Karena sekarang aku sungguh sangat merindukanmu. Menyebalkan karena kamu juga tidak kunjung menghubungiku. Ayolah, apa susahnya sih menghubungi? Kamu tahu kan aku tidak sanggup menanggungnya sendirian?

I may be in love with the idea of you. Is that thing still called love? Can I live with that?

Akan lebih mudah bagiku untuk mencintaimu dari kejauhan. Sungguh. Seperti yang sebelumnya terus kulakukan ke orang-orang sebelum kamu.

Mengagumi dari kejauhan. Membayangkan hal-hal indah yang terjadi di antara kita. Mencintai seutuhnya bayanganku tentang dirimu.

Ya, hanya bayanganmu. Karena aku toh ternyata tidak begitu siap dengan hal-hal lain di luar kendaliku, utamanya tentang keutuhan karakter yang kamu miliki. Aku tidak siap dengan penolakan, tidak siap dengan pilihan-pilihan yang kamu ambil (yang sepenuhnya hakmu) kalau tidak sesuai dengan keinginanku, tidak siap kalau kamu melangkah ke tempat lain selain ke tempat aku berada.

Aku sepenuhnya egois dalam mencintai. Aku harus memiliki. Harus utuh.

Jangan mencoba menasihatiku, aku tahu kok. Ini adalah sebuah dosa besar dalam suatu hubungan, aku tentu menyadarinya. Tapi bagaimana aku bisa menghentikan ini semua? Bagaimana aku bisa mencintai tanpa menyakiti? Bisakah aku menghilang saja dan menyimpan bayangmu dalam gelas kaca?

“Kamu mau mengubahku menjadi apa?”

tanyamu pada suatu sore.

Aku menggeleng cepat. Menepis pertanyaan itu dengan kuat. Aku tidak mengubahmu menjadi siapapun, tukasku dalam hati. Menolak tuduhan telaknya padaku.

Tapi, apakah benar aku tidak sedang menjadikannya sebagai bahan eksperimenku dalam interaksi intim? Apakah benar aku menerima seutuhnya dia karena dia? Apakah aku akan diam saja ketika dia melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang kubayangkan, atau melakukan hal-hal di luar perhitunganku?

Apakah aku yakin tidak sedang membentuk pribadi orang lain, seakan dia objek yang dengan sahnya kuotak-atik?

Muara Rasa

Bukan dusta jika aku menyatakan rasa sepi dan sendiri adalah teman terbaikku. Ia tidak mungkin menyerang di belakang, akan sangat nyata menjelaskan perihal kedatangannya, pun aku telah siap dengan segala aba-aba.

Sepi dan sendiri merupakan rasa paling jujur. Mutlak. Bukan seperti rasa senang yang menghanyutkan atau rasa sedih yang kerap beralaskan abu. Toh kedua rasa itu tetap berujung sepi dan sendiri.

Muara bagi segala rasa.

salah sangka terbujur asa

Aku tak yakin dengan apa yang benar-benar kurasakan. Apa yang terjadi akhir-akhir ini masih membutuhkan proses yang tidak sebentar untuk kucerna.

Bagaimana tidak, bongkahan kecil yang kupikir selama ini batu, ternyata adalah sebuah benih. Yang selama ini kupendam dalam-dalam, ternyata malah menyeruak dari permukaan tanah.

Nampak bibit-bibit kecil bermunculan. Kadang ia terlihat segar dan tumbuh lebih cepat, kadang dia stagnan agak lama atau sedikit layu. Yah, dinamika dalam ilmu pertanian, kurasa.

Hah, ilmu pertanian. Padahal aku sudah belajar memperdalam geologi!

Surat Terbuka untuk Purnama ke-8, 2021

Hai, Purnama, sudah lama ya kita tidak berjumpa.

Kamu masih ingat, setiap bulannya aku selalu berusaha memberi waktu khusus untuk berbincang denganmu; di atas genteng, di cor-coran dekat tandon kos pamungkas, di undakan belakang masjid kampus, di tempat jemuran lantai 3 kos GPW, atau di tengah lapangan sepakbola Jalan Kaliurang KM 11.

Kamu masih ingat, aku yang menghapal waktumu merekah, merencanakan sebuah tirakat, hanya untuk merasa dekat. Kilaumu yang memikat selalu berhasil membuatku terpesona sekaligus tercekat. Bersamaan dengan aliran rasa tenang yang mendayu, membuatku rindu ingin segera bertemu.

Purnama, hari ini aku menangis dua kali. Pertama karena membaca sebuah buku yang hebat. Kedua, sekarang, saat berusaha kembali terbuka denganmu.

Kamu tahu, ketika aku menangis, seluruh tubuhku akan bereaksi aneh. Aku akan menggigil, suhu badanku naik, dan kepalaku pusing. Persis seperti orang sakit. Bahkan tidak jarang aku menyangka sedang demam. Padahal tidak, itu hanya reaksi tubuhku. Metabolisme yang terbentuk karena sebuah tangisan.

Menangis artinya merasa. Merasa artinya lemah. Dengan merasa, aku bisa demam. Dengan merasa, aku bisa sakit. Itulah kenapa aku membencinya.

Purnama, aku harap kamu paham kenapa aku kerap memberi jarak terhadap segalanya; film, buku, teman. Aku tidak akan membiarkan diriku terlalu dekat untuk bersentuhan. Bersentuhan artinya merasa. Dan seperti yang aku bilang tadi, merasa artinya lemah. Artinya demam. Artinya sakit. Jika aku tidak ingin sakit, maka aku harus jauh, harus asing. Begitu kan premisnya?

Beberapa teman menyebutku mati rasa, keras dan beku. Menghitung semua dengan ukuran logika pragmatis, melihat hal dari kacamata untung-rugi.

Aku bebas, tidak terikat. Aku bisa berpindah sesuka hati, mampir ke mana saja yang kusuka; ke kamu, ke dia, ke mereka. Tidak ada yang kutakutkan, aku bukan bagian dari siapapun. Aku tidak bertanggung jawab pada perasaan mereka, bahagia dan sedihnya bukan aku yang tanggung.

Aku memang menikmati apa yang kujalani sekarang. Tapi Purnama, aku sadar, aku tidak benar-benar hidup selama ini. Aku hanya melewati satu dan lain waktu, tanpa benar-benar hidup dari hari ke hari.

Purnama, aku ingin turut membuat jejak. Aku ingin turut mengukir bayang. Aku ingin hidup seribu tahun lagi, bukan hanya sekali lalu mati. Tapi, jika aku tidak pernah berani merasa, lalu bagaimana aku bisa mewujudkan semua itu?

resonansi mimpi

Getaran ini semakin nyata, semakin dekat. Aku bergerak menuju apa yang selama ini kuimpikan. Gejolak yang kurasa tidak pernah mampu kudeskripsikan dengan baik. Bahkan perasaan ini juga rancu adanya.

Senang, tapi takut.
Tidak siap, tapi ingin segera menerjang.

Aku bayangkan muka orang-orang yang datang, dengan senyum kelu yang dipaksakan. Mencoba beramah tamah, yang dilanjut repetan hidup yang tidak mampu lagi dibendung.

Aku ada di sana, mendengarkan. Sambil sesekali mengecek rebusan air sebelum kemudian menyiram ke bubuk legam di corong bersudut 60 derajat berulir, demi menghasilkan segelas pelipur lara. Rasa puas hadir ketika orang-orang di hadapanku menghirup aroma perlahan, sebelum kemudian melanjutkan repetannya hingga kelam malam menyelimuti.