Memiliki pikiran yang berisik adalah kutukan bagiku. Ingin rasanya sekejap menghentikan riuhnya. Mungkin rasanya akan lebih menyenangkan. Atau mungkin malah menakutkan. Aku tidak yakin.
Keberisikan pikiran yang ditunjang dengan kemampuan analitis yang kuat akan lebih menyeramkan. Seakan menemukan banyak benang merah yang aku yakini kebenarannya. Aku terlalu tahu banyak hal. Bahkan terlalu mantap memprediksi masa depan. Seringnya benar. Tapi, terkadang ini juga berlebihan. Tergantung seberapa jauh aku melibatkan perasaan di dalam analisis tersebut.
Tidak baik menggunakan perasaan. Kemampuan analitisku akan lenyap. Sialnya, kita tidak bisa mengendalikan perasaan. Ia seperti belut yang semakin digenggam, semakin meluncur melepaskan diri. Licin. Tidak terjamah. Perasaan punya kakinya sendiri. Punya kehendaknya sendiri. Ia tidak mudah diatur dan tidak mudah berkompromi. Ia hanya akan sembuh jika ia mau sembuh.
Perasaan memang kuat. Tapi jangan sampai kamu menjadi budak atasnya. Jangan lepaskan tali logika dalam kepalamu, selemah apapun genggaman itu. Tetap genggam. Jangan tarik kuat-kuat perasaan. Kalau sudah jemawa, perasaan akan memporak-porandakan hidupmu. Sekali libas, semua tewas. Tidak tersisa. Bahkan bisa berujung menewaskan diri juga.
Kemarin, tepatnya 23 November, aku kelepasan. Tanganku terlalu rapuh hingga tanpa sadar melepaskan tali logika. Tanganku menggenggam erat perasaan dan membiarkannya mengambil alih hidupku. Aku dikendalikan sepenuhnya oleh perasaan. Aku hancur. Perasaan itu menekanku dan membuatku tidak bisa bernapas. Aku tenggelam dan tidak menemukan sesuatu untuk dijadikan pegangan. Aku tidak bisa berenang. Aku tamat.
Aku berhenti menggapai dan membiarkan air membawaku semakin dalam. Alirannya membawa benda-benda yang tidak seharusnya kusentuh di dalam air. Benda tajam. Obat-obatan. Jarum. Aku membiarkan mereka satu persatu menari di tubuhku. Memberikan sensasi yang menyakitkan namun anehnya melegakan. Mereka mengukir wujud mereka satu persatu di kulitku, di kerongkonganku, di jantungku. Dadaku berdebar keras menyambutnya.
Kupikir inilah saatnya aku menyentuh dasar laut. Aku siap. Jika memang ini waktunya, aku terima. Pikiran-pikiran yang sepenuhnya dikendalikan perasaan terasa menyakitkan. Sakit. Sakit. Sakit. Aku hanya ingin tidur. Biarkan aku lelap.
Selamat tidur?