Tidak Pernah Cukup untuk Sebuah Perayaan

Sebelum aku mulai untuk berceloteh, aku peringatkan bahwa apa yang nantinya aku ceritakan, bukanlah hal yang bisa diterima oleh logika banyak orang. Banyak yang sama sekali tidak mau memahami. Tidak sedikit yang kemudian memilih untuk melabeli.

Aku harap pembaca (kalau memang ada yang sudi membaca) akan mencoba meluangkan waktu untuk selesai sampai akhir. Bukan hanya beberapa penggal lalu sudah. Tidak ingin aku memberikan kesan yang salah. Bagaimanapun, aku ingin juga ‘didengar’.

Akhir-akhir ini aku sering melakukan observasi pada diri sendiri, dan berusaha memutar kembali peristiwa-peristiwa lampau yang berefek dengan perilaku dan pola pikirku sekarang. Salah satu hal yang membuatku merasa aneh, yaitu pola pikir yang terbentuk untuk “keras” pada diri sendiri. Hal ini terbukti dengan kurangnya apresiasi pada diri. Semua yang aku lakukan tidak pernah terasa sebagai prestasi. Hambar.

Hal ini dimulai ketika aku melihat banyak unggahan foto maupun story di Instagram teman-teman. Dengan bangganya mereka mengunggah foto mereka mengenakan toga, bahkan foto tersebut tidak hanya satu! Unggahan tersebut dibarengi oleh caption yang mengandung rasa syukur, rasa terima kasih, rasa sayang, dan hal-hal indah lainnya. Tanpa dikomando, perilaku teman-teman langsung aku bandingkan dengan perilakuku sendiri. Sambil berpikir. Ternyata, bagi orang-orang, wisuda merupakan prosesi yang membanggakan ya? Ternyata, bagi orang-orang, sematan cum laude merupakan hal yang patut dirayakan ya?

Aku mencoba mengingat, apakah aku juga merasakan itu? Perasaan bangga dan ingin merayakan keberhasilan atas prestasi diri (jika memang kelulusan bisa dianggap sebagai prestasi)? Anehnya, aku justru sama sekali nggak merasa bangga. Perasaan paling mendominasi adalah rasa malu. Ku katai diri dengan “Halah gitu doang Fir, bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Biasa aja.”

Sampai di sini, kebanyakan orang akan menganggap aku angkuh.
Gila, sombong banget nih orang!
Ya soalnya kamu udah lulus fir, jadi buat kamu ini biasa aja!”
Coba kalau kamu jadi aku, ga lulus-lulus. Pasti bakalan ngerasain kalo momen itu luar biasa!

Oke. Aku jadi berpikiran untuk menyudahi tulisan ini. Aku takut nggak dipahami. Aku takut dilabeli. Seperti yang sudah-sudah.

Hmm.

Tapi aku coba melanjutkan ya.

By God, aku juga pengen kayak kalian! Aku juga pengen merasakan apa yang kalian rasakan. Aku juga pengen berbangga hati atas apa yang telah aku raih. Aku juga pengen memeluk diri dan berterima kasih atas apa yang selama ini aku perjuangkan. Aku juga pengen. Pengen banget. Percaya deh.

Tapi aku nggak bisa.

Kesalahan logika ini sudah terbentuk bahkan sejak aku kecil. Aku nggak tahu harus bagaimana menghadapinya. Dan percayalah, tidak sesederhana itu pula untuk mengubahnya.

Masa kecilku, adalah apa yang sering kalian jumpai di meme. Digambarkan dengan dua orang. Seorang anak yang menghibur temannya yang menangis setelah mendapatkan nilai 80, padahal anak itu sendiri mendapatkan nilai 30. Meme jenis itu banyak, dalam berbagai versi yang intinya tetaplah sama. Aku mau tahu komentar apa yang sering kalian lontarkan untuk meme semacam itu. Kebanyakan dari warganet akan langsung menghardik anak yang menangis. Tidak sedikit yang menganggap anak yang menangis adalah villain. Dituliskan komentar bahwa seharusnya bersyukurlah, tahu dirilah, dan hal lainnya.

Ya. Aku merupakan si anak yang menangis karena nilai 80 itu. Walaupun aku tahu temanku mendapatkan nilai 30, tetap saja aku tangisi kertas hasil ujianku. Bukan karena aku tidak bersyukur, bukan pula karena tidak tahu diri, tapi keadaan yang tidak memberikan ruang bagiku untuk berbangga hati.

Sejak kecil, aku telah terbiasa dengan tetapan standar yang dibuat oleh orang tua. Saat aku berada di sekolah dasar, orang tuaku telah menetapkan standar nilai 80 sebagai nilai paling rendah. Sehingga ketika hasil ujianku menunjukkan nilai 80 atau di bawahnya, tidak akan pernah aku dapatkan senyum dari wajah mereka. Sekalipun aku mendapatkan 50, tapi aku termasuk 5 orang dengan nilai tertinggi di kelas dalam ujian tersebut, tetap tidak ada harganya. Nilai 50 ya nilai 50, artinya buruk sekali. Tidak peduli apakah kamu lima terbesar atau bahkan nilai tertinggi di angkatan sekalipun.

Sama saja. Tetap buruk sekali.

Ketika aku kembali melihat momen lebih ke belakang, ku temukan diriku sebagai anak yang mendapatkan beberapa piala. Entah dari lomba-lomba, atau yang paling ekstrem yaitu menjadi juara umum, yang katanya terpintar satu angkatan. Jika boleh meminta, aku ingin tidak diberikan penghargaaan-penghargaan tersebut. Dengan adanya penghargaan itu, orang tua menganggapku memiliki potensi. Menganggapku luar biasa. Yang membuat ekspektasi mereka bermunculan dan lahirlah standar-standar prestasi yang dibuat sejak usia sekolah dasar. Standar dan ekspektasi itu menyesakkan. Aku nggak bisa bergerak bebas. Aku jadi mendiskreditkan diri sendiri. Yang seharusnya berbangga hati, lebih memilih untuk menangis dalam sepi. Yang harusnya nilai 80 bisa menjadi prestasi, lebih memilih untuk membodoh-bodohi diri sendiri.

Tumbuhlah aku menjadi orang yang punya perasaan gelisah atau bahasa kerennya insecure atas diri yang berdampak pula pada sekeliling. Aku jadi gampang minder, mengatai diri, menganggap diri belum cukup hebat untuk sebuah perayaan. Menganggap apa yang aku raih, belum cukup termasuk sebagai prestasi. Karena aku menganggap diri belum apa-apa, dan menganggap apa yang ku dapatkan juga bisa didapatkan oleh banyak orang lainnya.

Kembali ke nilai, itu masih juga berlaku di kehidupan perkuliahan.

Aku menangis untuk nilai B. Aku juga menangis untuk ketidakhadiran 100% ku di perkuliahan. Dan itu bukan untuk menarik simpati melainkan terbentuk atas tekanan lingkungan, khususnya dalam keluarga.

Bagaimana ketidakadilan itu muncul saat Abangku menunjukkan nilai C di antara deretan nilainya. Orang tuaku berkata “Nggak papa, cuman satu kok“. Dan ketika giliranku menunjukkan deretan nilai, tidak dilirik sama sekali nilai A bulat yang telah banyak ku peroleh. Mata langsung tertuju pada satu titik B yang ku dapat. “Itu kok ada B nya?” yang membuatku langsung lemas. Ternyata bahkan nilai B tidak mendapatkan toleransi sama sekali bagi mereka.

Ku sadari selama ini aku ingin menjadi yang terbaik. Apapun itu ingin menjadi si Nomor Satu. Semua semata-mata ingin mendapatkan penghargaan dari mereka. Ingin mendapatkan senyuman bangga. Ingin diberi ucapan selamat dan terima kasih dari mereka. Sampai aku lupa, bahwa apresiasi itu dimulai dari diri sendiri. Dan apresiasi tidak harus menunggu langkah besar. Langkah kecilpun juga bagian dari prestasi. Setidaknya kita sudah berani untuk melangkah dan bergerak dari tempat awal kita berpijak. Iya kan?

Tempat tinggal, antara kos dan rumah, membuat hidupku jauh lebih baik. Mengubah sedikit pola pikir dan cara pandangku atas apa yang selama ini ku raih. Bisa sedikit rileks walaupun dapat B sekali lagi, atau belajar untuk memanfaatkan ‘jatah bolos’. Sama seperti teman-teman lainnya.

Yah, begitulah. Aku kemudian lebih rileks. Lebih chill. Tapi, apakah pola pikirku sebelum itu bisa langsung simsalabim hilang begitu saja? Sama sekali tidak.

Melangkahlah aku dalam sebuah eksplorasi hidup. Demi mengenal diri lebih jauh, demi memberikan apresiasi lebih dalam. Ku ikuti banyak kegiatan, ku pelajari banyak hal-hal baru. Sebanyak aku melangkah, sebanyak itu pula aku menemukan kepingan-kepingan diri. Di mana setiap kepingan ku coba apresiasi. Memberikan senyum untuk diri sendiri, tidak perlu menunggu orang lain untuk melakukannya.

Rasa hampa dan menganggap diri ‘biasa aja’ dan menganggap pula sebuah pencapaian sebagai ‘halah semua orang juga bisa’ memang kerap kali mendesakku. Membuatku takut dan berhenti melangkah. Memilih untuk bersembunyi dan menangisi diri. Sejauh ini fase ‘isolasi diri’ dapat teratasi dengan baik. Aku selalu bisa kembali membuka pintu dan mulai melangkah kembali, dengan semangat yang terus di-upgrade. “Nggak papa. Perlahan, asal jalan.” merupakan kata yang kini kerap ku katakan pada diri. Dan sejauh ini baik-baik dengan itu semua.

Maksud aku bercerita, bukan sekadar membagi pengalaman. Tapi juga memberikan pandangan, bahwa ada orang yang berada di posisiku. Tidak ada maksud sombong jika aku menganggap apa yang diraih merupakan hal yang biasa. Toh aku masih belajar untuk menghargai diri. Aku ingin kalian mencoba memahami, sebelum memberikan penilaian sendiri. Sekalipun itu tidak sesuai dengan logika kalian, selalu ada alasan dari semua perbuatan.

Sebagai contoh kasus, aku beberkan salah satu hal nyata terkait penilaian sombong yang pernah disematkan orang padaku. Tanpa orang tersebut memahami maksudku. Sebelum ini, pernah aku menyatakan hal yang menurut kebanyakan orang dianggap sombong, yaitu ketika orang bilang “Yang penting tuh kamu cum laude!“. Ku sambut dengan “Yah, cum laude doang mah gampang…” belum sempat pernyataan ku selesaikan, langsung aku dihujani cibiran. Hal-hal semacam “Sombong banget! Jangan berlagak!” tentu saja harus ku telan bulat-bulat. Asal suara memberi komentar yang menyakiti hati, tanpa mau mengerti.

Aku nggak mau bilang. Dan mungkin dia nggak paham. Bahwa cum laude bukan lagi sebagai standar orang tuaku. Mereka hanya mau Firda mendapat pin emas. Dan pin emas itu hanya diberikan pada orang-orang dengan IPK tertinggi tiap fakultas. Untuk itu, aku nggak boleh dapet nilai selain A bulat. Untuk itu pula, cum laude bukan menjadi prioritasku. Untuk itu, aku nggak pernah berbangga hati mendapat IPK cum laude sebelum pin emas itu disematkan.

Aku sudah lulus. Sudah sarjana.
Tapi tidak begitu berbangga hati.
Karena pin emas tidak aku dapatkan.
Aku hanya cum laude.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a comment