Degradasi Diri

Ponsel bukanlah sesuatu yang perlu disembunyikan, apalagi diberi kata sandi yang hanya diri sendiri yang mengetahui. Itulah tipe orang di lingkaran pertemananku, mereka terbuka, toh mau melihat apa? Toh apa yang nggak aku ketahui?

Semua terasa wajar, aku memainkan ponsel teman dan teman meminjam ponselku. Sampai kemudian aku mendapati sebuah notifikasi grup wasap di ponsel teman tersebut, pesan dari salah seorang anggota di grup tersebut. Penasaran, ku buka daftar anggota. Untuk sesaat aku terdiam.

Aku mengenal mereka semua. Mereka merupakan teman sepermainanku ketika masih aktif di perkuliahan. Bahkan kami pernah sempat membuat tim kreatif yang di mana semua anggota tim kreatif tersebut ada di grup, kecuali aku. Ditambah dengan beberapa anggota yang aku juga kenal, cukup dekat, dan kami sering juga bermain bersama.

Kalian paham arah pembicaraanku, bukan?
Aku bermain bersama mereka, tapi tidak dimasukkan menjadi daftar anggota grup tersebut. Aku merasa dekat dengan mereka, tapi tidak pernah diajak untuk ngumpul beramai-ramai.

Apakah karena aku yang tidak mengenakan jilbab? Ataukah karena aku yang lulus terlalu cepat? Mungkinkah karena selama ini kita tidak terlalu dekat? Tapi untuk poin yang terakhir…

Kalau kalian bertanya tentang bagaimana perasaanku untuk tidak dianggap bagian dari mereka, aku akan menjawab ‘aku biasa aja’. Aku juga merasa aneh dengan jawabanku sendiri, tapi memang itu yang aku rasakan. Tidak diajak main atau ngegeng bersama mereka bukan masalah besar, toh aku memang tidak bisa selalu ada untuk mereka.

Satu hal yang membuatku berpikir dan mau nggak mau merasa sedih juga yaitu aku yang mempertanyakan pada diri: memangnya aku nggak ada harganya ya bagi mereka?

Aku merasa cukup lekat dengan mereka. Dulu.
Tapi kemudian setelah aku mulai fokus terhadap tugas akhir, semuanya seperti hilang. Semua sangat terasa ketika sidang datang, disusul dengan wisuda. Terasa biasa, sedikit memaksa. Dimana senyumnya?

Mulai dari situ aku merasa ada yang ganjil.

Ada yang mulai tidak sama lagi.

Dan mungkin hal itu dikarenakan ketidakhadiranku dalam hidup mereka lagi. Sampai situ, aku tau berapa hargaku bagi mereka.

Aku mengakui bahwa aku nggak punya kelebihan khas seorang Firda yang hanya Firda aja yang punya. Nggak ada. Firda sama aja dan bisa tergantikan oleh banyak pihak lain. Nggak khas. Yang dimana ketika aku nggak ada, nggak menjadi masalah bagi siapapun. Aku hanya seperti kol di bakmi jawa, ada atau nggak ada ya nggak jadi masalah.

Selama ini aku bisa bertahan bersama mereka (atau lebih tepatnya mereka bertahan bersamaku) karena aku yang selalu berusaha untuk selalu ada. Hanya kehadiran yang bisa aku berikan. Ketika aku udah sibuk sama duniaku, dan nggak bisa lagi hadir sesering dulu, aku dilupakan. Sesederhana itu.

Hal ini membuat aku megevaluasi diri, atau lebih tepatnya menyalahkan diri sendiri. Mempertanyakan kespesialanku apa. Apa yang hanya dimiliki aku, tapi nggak dimiliki orang lain, yang membuat orang lain rela menunggu demi aku, semacam itu. Apa?

Pantas saja mereka mudah melupakan,
Aku sendiri juga nggak bisa menjadi panutan, apalagi kebanggaan. Kapan mereka dengan tersenyum memperkenalkan aku sebagai teman mereka, entah aku sebagai apa. Aku dilupakan karena aku nggak berharga kan?

Atau,
Jangan-jangan selama ini aku nggak menyenangkan? Mereka ogah jalan sama aku? Ogah ngobrol sama aku? Kenapa? Apa yang salah dari aku?
Kalau selama ini aku dan mereka berteman, kenapa nggak ada kegiatan mengoreksi satu sama lain?

Sekembalinya ke kamar, aku termenung. Sedih juga ya. Bukan karena dilupakan, bukan juga karena nggak diajak main bareng. Lebih ke degradasi diri,

Apa spesialnya diri ini?

 

Leave a comment